A. PENDAHULUAN
Menjelang pelaksanaan liberalisasi di sektor industri dan perdagangan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan pernah mengisyaratkan bahwa di masa mendatang industri pangan nasional akan menghadapi tantangan persaingan yang
makin berat dan kendala yang
dihadapi pun semakin besar. Globalisasi ekonomi negara, industri,
penguasaan teknologi canggih, persaingan
terbuka dan proteksi ekonomi dalam
blok-blok perdagangan
internasional
mengharuskan reorientasi dalam
strategi pembinaan dan pengembangan industri pangan nasional.
Oleh karena itu, wajar juga apabila industri pangan nasional
berusaha mencari upaya-
upaya terobosan
dan inovasi-inovasi baru dengan
tujuan
agar industri pangan
nasional tersebut sanggup bertahan dan mandiri sehingga mampu bersaing
untuk menghadapi kemungkinan perubahan serta mampu memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh konsumen internasional.
Salah satu tantangan dan kendala utama
yang dihadapi oleh industri
pangan nasional
tersebut adalah selain produk pangan
yang dihasilkan harus bermutu juga ”aman” untuk dikonsumsi serta tidak mengandung bahan-bahan yang membahayakan
terhadap kesehatan manusia.
Seperti kita ketahui bersama bahwa
dewasa ini masalah jaminan mutu dan
keamanan pangan terus berkembang
sesuai dengan tuntutan dan persyaratan konsumen serta dengan tingkat kehidupan
dan kesejahteraan manusia. Bahkan pada beberapa tahun terakhir ini, konsumen telah menyadari bahwa mutu dan keamanan pangan tidak hanya bisa dijamin dengan hasil uji
pada produk akhir di laboratorium
saja. Mereka
berkeyakinan bahwa dengan pemakaian bahan
baku
yang
baik, ditangani atau di
”manage” dengan
baik,
diolah dan didistribusikan dengan baik
akan menghasilkan produk akhir pangan yang baik pula. Oleh karena itu, berkembanglah
berbagai sistem yang
dapat memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan sejak proses produksi hingga ke
tangan konsumen serta ISO-9000, QMP (Quality Management Program), HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)
dan
lain- lain.
industri pangan yang menerapkannya,
menjadikan sistem ini banyak diacu dan
diadopsi sebagai standar
proses keamanan pangan secara internasional. Codex Alimentarius Commission (CAC) WHO/FAO pun telah menganjurkan dan
merekomendasikan
diimplementasikannya konsep HACCP ini pada
setiap industri pengolah pangan.
Begitu
pula
negara-negara
yang tergabung
dalam MEE
melaui EC Directive
91/493/EEC juga merekomendasikan penerapan HACCP sebagai dasar
pengembangan sistem manajemen mutu dinegara-negara yang
akan mengekspor produk hasil perikanan
dan
udangnya ke negara-negara MEE
tersebut.
Dalam tulisan pada makalah
ini akan
disajikan/diinformasikan
tentang sejarah perkembangan perumusan HACCP, pemahaman sistem HACCP dan
definisinya termasuk bahaya yang dimaksud dalam HACCP, prinsip
dasar dalam sistem HACCP serta pola penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam industri pangan.
B. SEJARAH PERKEMBANGAN PERUMUSAN
HACCP
Konsep sistem HACCP sebagai penjamin keamanan pangan pertama kali
dikembangkan oleh
tiga institusi, yaitu perusahaan pengolah pangan Pillsbury
Company bekerjasama dengan NASA (The National Aeronaties and Space Administration)
dan
US Arm’s Research, Development and Engineering Center pada dekade tahun 1960-an dalam rangka menjamin suplai persediaan makanan untuk para astronotnya (ADAMS, 1994 ; MOTARJEMI
et
al, 1996 ; VAIL, 1994). Konsep ini pada permulaannya dikembangkan dengan misi untuk menghasilkan produk pangan dengan kriteria yang bebas dari bakteri pathogen yang
bisa menyebabkan
adanya
keracunan maupun bebas dari bakteri-bakteri lain serta
dikenal pula dengan
program ”zero-defects” (HOBBS, 1991).
Program ”zero-defects” ini esensinya
mencakup tiga hal, yaitu : pengendalian bahan baku, pengendalian seluruh proses
dan
pengendalian pada lingkungan produksinya
serta tidak hanya mengandalkan
pemeriksaan pada produk akhir (finished products) saja. Oleh karena
hal
tersebut maka diperlukan sistem/metode pendekatan lain yang
bisa menjamin bahwa faktor-
faktor yang
merugikan harus benar-benar dapat diawasi dan dikendalikan. Dari hasil pengkajian, evaluasi dan penelitian yang lebih mendalam ternyata sistem/metode
HACCP merupakan satu-satunya konsep
yang pas (sesuai) kinerjanya
untuk program ”zero-defects” tersebut (NATIONAL FOOD PROCESSORS ASSOCIATION’S MICROBIOLOGY AND
FOODSAFETY COMMITTEE, 1992).
Kemudian atas
inisiatif perusahaan industri pengolah pangan Pillbury
Company, konsep sistem
manajemen HACCP tersebut
lalu dipresentasikan dan
dipublikasikan pada tahun 1971 dalam Konfrensi Perlindungan Pangan Nasional di Amerika
Serikat (HOBBS, 1991). Disamping itu, konsep ini menjadi dasar bagi
peraturan
untuk menjamin keamanan mikrobiologis
bagi produk
makanan berasam rendah yang dikalengkan dan makanan yang diasamkan dan diproses dengan
menggunakan suhu tinggi. Selanjutnya konsep sistem HACCP ini banyak dipelajari, diteliti, diterapkan
dan
dikembangkan oleh berbagai kalangan
industri pengolah pangan, ilmuan pangan, teknologi pangan, para pakar di bidang ilmu dan teknologi
pangan baik yang ada di Universitas/Perguruan Tinggi, lembaga litbang pangan dan
lain-lain. bahkan FDA (Food and Drug
Administration) sebagai lembaga penjamin
mutu
dan keamanan pangan nasional yang
disegani di Amerika Serikat telah
menetapkan dan mensyaratkan agar sistem HACCP ini diterapkan secara wajib (mandatory) pada setiap industri
pengolah pangan secara luas (PERSON
dan CORLET, 1992).
Konsep HACCP ini pun telah mengalami revisi, kajian ulang
dan penyempurnaan
dari
berbagai institusi yang
memberikan
masukannya seperti National Advisory Committee On Microbiological Criteria on Foods (NACMCF),
US Departement of Agriculture
(USDA), National Academiy
of Sciences (NAS),
USDA Food Safety and Inspection Service (FSIS) (ADAMS, 1994) ; The National Marine
Fisheries Institute (NMFS), National Oceanic and Atmospherie
Administration (NOAA), National Fisheries Institute (NFI)
dan
FDA sendiri (GARRETT III
dan
HUDAK-ROSE, 1991). Perkembangan selanjutnya konsep
HACCP ini telah banyak diimplementasikan di berbagai jenis operasi pengolahan pangan termasuk pula
pada jasa ”catering” dan ”domestic kitchen” dan dalam
implementasinya biasanya dilakukan validasi dan verifikasi oleh Badan/Lembaga pengawas
keamanan
pangan.
Kemudian
sejak tahun
1985 penerapan sistem
HACCP
telah diuji-cobakan
pada industri pengolah
pangan, industri perhotelan, industri penyedia makanan yang
beroperasi di jalanan (street food vendors) dan rumah tangga di
beberapa negara, misalnya, Republik Dominika,
Peru,
Pakistan, Malaysia dan Zambia (WHO),
1993). Pada tahun 1993 Badan Konsultansi WHO untuk
Pelatihan Implementasi Sistem HACCP pada
Industri Pengolah
Pangan membuat
suatu rekomendasi agar pemerintah sebagai pembina dan industri
pangan sebagai produsen pangan berupaya
menerapkan sistem HACCP, terutama
bagi negara-negara Argentina, Bolivia, China, Indonesia, Jordania, Meksiko, Peru, Philipina,
Thailand dan Tunia. Begitu pula negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) telah mensyaratkan diterapkannya
sistem HACCP pada setiap eksportir produk pangan yang
masuk ke negara-negara tersebut. Sementara ini, mulai tanggal 28 Juni 1993, konsep sistem HACCP telah
diterima
oleh Codex Alimentarius Commission (CAC)
dan
diadopsi sebagai Petunjuk Pelaksanaan
Penerapan Sistem HACCP atau
”Guidelines for Application of Hazard Analysis Critical Control Point
System”
(CODEX ALIENTARIUN
COMMISSION,
1993). Dengan adanya adopsi dan pengakuan secara
resmi dari Badan WHO ini, maka HACCP menjadi semakin
populer di kalangan industri
dan jasa pengolah pangan sebagai penjamin keamanan pangan (food
safety assurance).
C.
PEMAHAMAN KONSEP SISTEM HACCP DAN DEFINISINYA
HACCP merupakan
suatu sistem manajemen pengawasan
dan pengendalian
keamanan pangan secara preventif yang bersifat ilmiah, rasional dan sistematis dengan tujuan untuk mengidentifikasi, memonitor
dan
mengendalikan bahaya
(hazard)
mulai dari bahan baku,
selama proses produksi/pengolahan, manufakturing,
penanganan dan
penggunaan
bahan pangan
untuk menjamin bahwa bahan
pangan
tersebut aman bila dikonsumsi (MOTARKEMI et al, 1996 ; STEVENSON, 1990).
Dengan demikian dalam sistem HACCP,
bahan/materi yang dapat membahayakan keselamatan manusia atau yang
merugikan ataupun yang
dapat menyebabkan produk
makanan menjadi tidak disukai; diidentifikasi dan diteliti dimana kemungkinan besar
terjadi kontaminasi/pencemaran
atau kerusakan produk
makanan mulai dari penyediaan bahan baku, selama tahapan proses pengolahan bahan sampai distribusi dan penggunaannya. Kunci utama
HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik kendali kritis.
Menurut BRYAN (1990),
sistem HACCP didefinisikan sebagai suatu manajemen untuk menjamin keamanan
produk pangan dalam
industri pengolahan
pangan dengan menggunakan konsep pendekatan yang
bersifat logis (rasional), sistematis, kontinyu
dan menyeluruh (komprehensif) dan
bertujuan untuk mengidentifikasi, memonitor dan mengendalikan bahaya yang
beresiko tinggi terhadap
mutu dan keamanan
produk pangan.
Konsep HACCP ini disebut rasional karena pendekatannya
didasarkan pada data historis tentang
penyebab suatu penyakit yang
timbul (illness) dan kerusakan pangannya
(spoilage). HACCP
bersifat sistematis
karena konsep HACCP
merupakan rencana yang teliti dan cermat serta
meliputi kegiatan operasi tahap demi
tahap, tatacara (prosedur) dan ukuran kriteria pengendaliannya. Konsep
HACCP
juga
bersifat kontinyu karena
apabila ditemukan terjadi suatu masalah maka dapat segera dilaksanakan tindakan untuk memperbaikinya. Disamping
itu,
sistem HACCP dikatakan bersifat komprehensif karena sistem HACCP sendiri berhubungan erat
dengan ramuan (ingredient), pengolah/proses dan tujuan penggunaan/pemakaian produk
pangan
selanjutnya.
Sistem HACCP dapat dikatakan
pula sebagai alat pengukur
atau pengendali yang memfokuskan perhatiannya pada jaminan
keamanan pangan, terutama sekali untuk
mengeliminasi adanya bahaya (hazard) yang berasal dari bahaya mikrobiologi
(biologi), kimia dan
fisika ; dengan cara mencegah dan mengantisipasi
terlebih dahulu
daripada memeriksa/menginspeksi saja.
Sementara
itu, tujuan dan sasaran HACCP adalah memperkecil kemungkinan adanya kontaminasi
mikroba
pathogen dan
memperkecil
potensi
mereka untuk tumbuh dan
berkembang. Oleh
karena
itu,
secara individu setiap
produk dan sistem pengolahannya
dalam industri pangan harus mempertimbangkan
rencana pengembangan HACCP. Dengan demikian, setiap produk dalam industri
pangan yang dihasilkannya akan mempunyai konsep rencana penerapan HACCP-nya
masing-masing disesuaikan
dengan
sistem produksinya.
Bagi industri
pengolahan pangan, sistem
HACCP sebagai sistem
penjamin keamanan pangan mempunyai kegunaan dalam hal, yaitu : (1) Mencegah penarikan produk pangan yang dihasilkan, (2) Mencegah penutupan pabrik, (3) Meningkatkan
jaminan keamanan produk, (4) Pembenahan dan pembersihan pabrik, (5) Mencegah kehilangan pembeli/pelanggan atau pasar, (6) Meningkatkan kepercayaan konsumen
dan
(7) Mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang mungkin timbul karena
masalah keamanan
produk.
Pendekatan HACCP dalam
industri pangan terutama diarahkan
terhadap produk pangan (makanan) yang mempunyai resiko tinggi sebagai penyebab penyakit dan keracunan, yaitu makanan yang
mudah terkontaminasi oleh bahaya mikrobiologi, kimia dan fisika
(Tabel 1).
Tabel
1. Pengolahan
Makanan Berdasarkan
Resiko Kesehatan
dan beberapa
contohnya
Tingkat
Resiko
Kesehatan
|
Jenis
Makanan
|
Resiko Tinggi
|
¨ Susu dan
produk olahannya
¨ Daging
(sapi, ayam, kambing, dsb) dan produk olahannya
¨ Hasil perikanan dan produk olahannya
¨ Sayuran
dan produk olahannya
¨ Produk
makanan berasan rendah lainnya
|
Resiko Sedang
|
ü Keju
ü Es
krim
ü Makanan beku
ü Sari
buah beku
ü Buah-buahan
dan
sayuran beku
ü Daging dan ikan beku
|
Resiko Rendah
|
Ø Serealia /
biji-bijian
Ø Makanan kering
Ø Kopi,
the
|
Untuk memahami konsep HACCP secara menyeluruh diperlukan adanya kesamaan
pandangan
terhadap beberapa
istilah dan
definisi yang dipakai dalam
sistem manajemen HACCP, yaitu :
Bahaya (hazard)
Bahan biologi, kimia atau fisika,
atau kondisi yang dapat menimbulkan resiko kesehatan yang
tidak diinginkan terhadap konsumen. Menurut NACMCF (1992)
mendefinisikan bahaya atau ”hazard” sebagai suatu sifat-sifat
biologis/mikrobiologis, kimia, fisika yang dapat menyebabkan bahan pangan
(makanan) menjadi
tidak aman
untuk dikonsumsi.
Titik Kendali
(Control Point = CP)
Setiap titik, tahap atau prosedur pada
suatu sistem produksi makanan yang dapat mengendalikan
faktor
bahaya biologi/mikrobiologi,
kimia atau fisika.
Titik Kendali
Kritis
(Critical Control Point = CCP)
Setiap titik, tahap atau prosedur pada suatu sistem produksi makanan yang jika tidak terkendali dapat mengakibatkan resiko kesehatan yang tidak diinginkan atau setiap titik, tahap atau prosedur yang
jika
dikendalikan dengan baik dan benar
dapat
mencegah, menghilangkan atau
mengurangi adanya bahaya.
Batas Kritis (Ccritical
Limits)
Batas toleransi yang harus dipenuhi/dicapai yang menjamin bahwa CCP
dapat mengendalikan secara efektif bahaya yang
mungkin timbul atau suatu nilai
yang merupakan batas antara keadaan dapat diterima
dan tidak dapat
diterima.
Resiko
Kemungkinan
menimbulkan bahaya.
Penggolongan Resiko
Pengelompokkan prioritas resiko berdasarkan bahaya yang mungkin timbul/
terdapat pada makanan.
Pemantauan (Monitoring)
Pengamanan atau
pengukuran untuk
menetapkan apakah suatu CCP dapat dikendalikan
dengan baik dan
benar serta menghasilkan
catatan yang teliti untuk
digunakan selanjutnya dalam
verifikasi.
Pemantauan Kontinyu
Pengumpulan
dan pencatatan data
secara
kontinyu, misalnya
pencatatan suhu pada tabel.
Tindakan Koreksi (Corrective Action)
Prosedur atau tatacara tindakan yang harus dilakukan jika terjadi
penyimpangan pada CCP.
Tim HACCP
Sekelompok orang/ahli yang bertanggung
jawab untuk menyusun rancangan
HACCP.
Validasi Rancangan HACCP
Pemeriksaan awal oleh tim HACCP untuk menjamin bahwa
semua elemen dalam
rancangan
HACCP sudah
benar.
Validasi
Metode, prosedur dan uji yang
dilakukan selain pemantauan untuk
membuktikan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rancangan HACCP, dan untuk
menentukan apakah
rancangan HACCP memerlukan modifikasi
dan
revalidasi.
D.
PRINSIP DASAR SISTEM HACCP
Secara
teoritis ada tujuh prinsip dasar penting dalam penerapan sistem
HACCP pada industri
pangan seperti yang direkomendasikan baik oleh NACMCP
(National Advisory Committee on Microbilogical Criteria for Foods, 1992) dan CAC
(Codex Alintarius Commission, 1993). Ketujuh prinsip dasar penting
HACCP yang
merupakan dasar filosofi
HACCP tersebut adalah:
1. Analisis
bahaya (Hazard Analysis) dan penetapan resiko
beserta cara
pencegahannya.
2. Identifikasi
dan penentuan titik kendali kritis
(CCP)
di dalam proses produksi.
3. Penetapan batas
kritis (Critical Limits)
terhadap
setiap CCP
yang telah teridentifikasi.
4. Penyusunan
prosedur
pemantauan dan persyaratan untuk memonitor
CCP.
5. Menetapkan/menentukan tindakan
koreksi yang
harus dilakukan
bila terjadi
penyimpangan (diviasi) pada batas
kritisnya.
6. Melaksanakan prosedur yang efektif untuk pencatatan dan penyimpanan datanya
(Record keeping).
7. Menetapkan
prosedur
untuk
menguji kebenaran.
Prinisp I.
Analisis Bahaya (Hazard Analysis)
dan
Penetapan Resiko beserta Cara
Pencegahannya.
Pendekatan pertama
pada konsep HACCP adalah analisis bahaya yang
berkaitan dengan semua aspek produk yang
sedang diproduksi. Pemeriksaan atau
analisis terhadap bahaya ini harus dilaksanakan,
sebagai tahap
utama untuk mengidentifikasi semua bahaya yang dapat terjadi bila produk pangan dikonsumsi. Analisis bahaya harus
dilaksanakan menyeluruh
dan realistik, dari bahan baku
hingga ke tangan
konsumen.
Jenis bahaya yang mungkin terdapat di dalam makanan dibedakan atas tiga
kelompok bahaya, yaitu :
(1) Bahaya
Biologis/Mikrobiologis, disebabkan
oleh bakteri pathogen,
virus atau
parasit
yang dapat menyebabkan keracunan,
penyakit
infeksi atau
infestasi, misalnya : E. coli pathogenik, Listeria
monocytogenes, Bacillus sp., Clostridium
sp., Virus hepatitis A, dan
lain;
(2) Bahaya Kimia, karena
tertelannya toksin alami atau bahan kimia yang
beracun, misalnya
: aflatoksin, histamin, toksin jamur, toksin kerang, alkoloid pirolizidin, pestisida, antibiotika, hormon pertumbuhan, logam-logam berat (Pb, Zn, Ag, Hg, sianida), bahan pengawet (nitrit, sulfit),
pewarna (amaranth, rhodamin B, methanyl
jellow),
lubrikan, sanitizer, dan
sebagainya ;
(3) Bahaya Fisik, karena tertelannya benda-benda asing yang seharusnya
tidak
boleh terdapat di dalam makanan, misalnya : pecahan gelas,
potongan kayu, kerikil, logam, serangga, potongan tulang, plastik, bagian tubuh
(rambut), sisik, duri, kulit
dan lain-lain.
Agar analisis bahaya ini dapat benar-benar mencapai hasil yang dapat
menjamin semua informasi mengenai bahaya dapat diperoleh, maka analisis bahaya
harus dilaksanakan
secara sistematik
dan terorganisasi.
Ada tiga elemen
dalam
analisis bahaya, yaitu
:
1. Menyusun
Tim HACCP.
2. Mendefinisikan produk : cara produk dikonsumsi dan sifat-sifat negatif produk yang harus dikontrol dan dikendalikan.
3. Identifikasi bahaya pada titik kendali kritis dengan mempersiapkan diagram alir proses yang
teliti sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya, untuk menghasilkan
suatu produk.
Prinisp II.
Identifikasi
dan
Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP)
di dalam Proses
Produksi
Titik kendali kritis (CCP)
didefinisikan sebagai suatu titik lokasi, setiap
langkah/tahap dalam
proses,
atau
prosedur, apabila tidak terkendali (terawasi)
dengan baik, kemungkinan dapat menimbulkan tidak amannya
makanan, kerusakan (spoilage), dan resiko kerugian
ekonomi. CCP ini ditentukan setelah diagram alir
proses produksi yang
sudah teridentifikasi potensi bahaya pada setiap tahap produksi dengan menjawab pertanyaan ”Apakah pengawasan/pengendalian kritis dari bahaya
(hazard) terjadi pada tahap ini atau yang lain; apabila pengawasan/pengendalian pada tahap tertentu gagal apakah langsung
menghasilkan bahaya yang
tak diinginkan, kerusakan dan kerugian secara ekonomi”. Harus diperhatikan titik kendali (CP)
tidaklah
sama dengan
titik
kendali kritis (CCP).
Secara
sistematis untuk mengidentifikasi dan mengenali setiap titik kendali
kritis (CCP) dapat dilakukan dengan metode
alur
keputusan
atau CCP Decission Tree seperti terlihat
pada Gambar 1.
P1 Apakah
ada tindakan
pencegahan untuk bahaya yang
?
Y Tidak a
Apakah
pengendalian
pada
tahap ini diperlukan untuk
Tidak
Bukan
Stop
P2 Apakah
tahap ini dapat
. menghilangkan atau mengurangi
kemungkinan
terjadinya bahaya Y
Tidak
P3 Apakah pencemaran oleh
bahaya
teridentifikasi terjadi lebih dari
tingkat yang dapat diterima, atau Dapatkah
bahaya tersebut meningkat hingga tingkat
Y Tidak
Bukan Stop
Apakah tahap berikutnya
dapat
P4 menghilangkan bahaya yang sudah
. teridentifikasi
atau mengurangi
kemungkingan
terjadinya bahaya
hingga
tingkat yang dapat
diterima ?
Tidak
Ini berarti
Titik Kendali Kritis
(CCP)
Y
Bukan Stop
(*) Lanjutan
pada tahap berikutnya dalam
proses yang
Gambar 1.
Diagram Alur Penentuan Titik Kendali Kritis
(CCP Decission Tree)
Prinisp III. Penetapan Batas Kritis (Critical Limits) Terhadap
Setiap
CCP
yang telah Teridentifikasi.
Setelah semua CCP dan parameter pengendali yang berkaitan dengan setiap CCP teridentifikasi, Tim HACCP harus menetapkan
batas kritis untuk setiap
CCP. Biasanya batas
kritis untuk bahaya biologis/mikrobiologis, kimia
dan
fisika untuk setiap jenis produk berbeda satu
sama lainnya.
Batas kritis didefinisikan sebagai batas toleransi yang dapat diterima
untuk mengamankan bahaya, sehingga
titik kendali dapat mengendalikan bahaya kesehatan
secara cermat
dan efektif.
Batas
kritis
yang sudah
ditetapkan ini tidak
boleh
dilanggar
atau dilampaui nilainya, karena
bila suatu nilai batas kritis yang dilanggar
dan
kemudian titik kendali kritisnya lepas dari kendali, maka dapat menyebabkan
terjadinya bahaya terhadap kesehatan
konsumen.
Beberapa contoh batas kritis yang perlu ditetapkan sebagai alat pencegah
timbulnya bahaya,
misalnya adalah ; suhu dan
waktu
maksimal
untuk proses thermal, suhu maksimal untuk menjaga
kondisi pendinginan, suhu dan waktu tertentu untuk
proses sterilisasi komersial, jumlah residu pestisida yang diperkenankan ada dalam bahan pangan.,
pH maksimal yang
diperkenankan,
bobot pengisian maksimal,
viskositas maksimal yang diperkenankan
dan sebagainya.
Selain batas
kritis untuk residu pestisida yang
berasal dari
komoditas pertanian, batas kritis bahan kimia lain yang berpotensi
sebagai bahaya kimia juga
harus ditetapkan. Dalam hal ini tim HACCP harus
menggunakan peraturan-peraturan
yang sudah ditetapkan sebagai panduan dalam menetapkan batas kritis untuk semua
Bahan Tambahan Makanan (BTM), termasuk bahan kimia yang
digunakan dalam
bahan
pengemas yang bersentuhan
dengan produk pangan.
Batas kritis untuk setiap CCP perlu didokumentasikan. Dokumentasi ini harus dapat
menjelaskan bagaimana setiap batas kritis
dapat diterima dan harus
disimpan sebagai bagian dari rencana formal
HACCP.
Prinisp IV. Penyusunan
Prosedur
Pemantauan dan
Persyaratannya Untuk
Memonitor CCP-nya.
Setelah prinsip III dilengkapi dengan penetapan batas kritis
untuk semua
CCP, tim HACCP harus menetapkan persyaratan monitoring untuk setiap CCP-nya.
Monitoring merupakan rencana pengawasan dan pengukuran berkesinambungan untuk mengetahui apakah
suatu CCP dalam keadaan terkendali
dan
menghasilkan catatan (record) yang tepat untuk digunakan dalam verifikasi
nantinya. Kegiatan monitoring ini mencakup :
(1) Pemeriksaan apakah prosedur
penanganan dan pengolahan pada
CCP dapat dikendalikan dengan baik ; (2)
Pengujian atau
pengamatan
terjadwal terhadap efektifitas sustu
proses untuk mengendalikan CCP dan batas kritisnya ; (3) Pengamatan atau pengukuran batas
kritis untuk memperoleh data yang teliti, dengan tujuan untuk menjamin bahwa batas kritis yang ditetapkan dapat menjamin keamanan produk
(CORLETT, 1991).
Cara dan prosedur monitoring
untuk setiap CCP perlu diidentifikasi agar
dapat memberi jaminan bahwa proses
pengendalian
pengolahan produk
pangan
masih dalam batas kritisnya dan dijamin
tidak
ada bahayanya.
Dalam hal ini, metode, prosedur dan
frekuensi monitoring serta
kemampuan
hitungnya
harus dibuat daftarnya pada lembaran kerja HACCP.
Prosedur dan metode monitoring
harus efektif dalam memberi jaminan
keamanan terhadap produk pangan yang
dihasilkan. Idealnya, monitoring pada CCP dilakukan secara
kontinyu hingga dicapai tingkat kepercayaan 100 persen. Namun
bila
hal ini tidak memungkinkan, dapat dilakukan monitoring
secara tidak kontinyu
dengan syarat terlebih dahulu harus ditetapkan interval waktu yang sesuai sehingga
keamanan pangan benar-benar terjamin. Biasanya agar pengukurannya
dapat dilakukan secara cepat dan tepat, monitoring dilakukan dengan cara pengujian yang bersifat otomatis dan tidak memerlukan waktu yang lama. Oleh karena itu, pengujian
dengan cara analisis mikrobiologis jarang digunakan sebagai prosedur monitoring. Beberapa
contoh pengukuran dalam pemantauan (monitoring) adalah : observasi
secara visual dan pengamatan langsung (misal : kebersihan lingkungan pengolahan, penyimpanan
bahan mentah), pengukuran
suhu dan waktu proses, pH, kadar
air dsb.
Prinsip V.
Melaksanakan
Tindakan Koreksi yang Harus
Dilakukan Bila Terjadi
Penyimpangan (deviasi) Pada Batas Kritis yang Telah
Ditetapkan.
Meskipun sistem HACCP sudah dirancang untuk
dapat mengenali
kemungkinan adanya bahaya yang
berhubungan dengan kesehatan dan untuk
membangun strategi pencegahan preventif terhadap bahaya, tetapi kadang-kadang
terjadi pula penyimpangan yang
tidak diharapkan. Oleh karena itu, jika dari hasil
pemantuan (monitoring) ternyata
menunjukkan telah terjadi penyimpangan terhadap CCP dan batas kritisnya, maka harus
dilakukan tindakan koreksi (corrective action) atau
perbaikan dari
penyimpangan tersebut.
Tindakan koreksi adalah prosedur proses yang
harus dilaksanakan ketika kesalahan serius atau kritis diketemukan dan batas kritisnya terlampaui. Dengan
demikian, apabila terjadi kegagalan
dalam pengawasan pada CCP-nya, maka tindakan koreksi harus segera
dilaksanakan. Tindakan koreksi ini dapat berbeda-beda
tergantung dari tingkat resiko produk, yaitu semakin tinggi resiko produk semakin
cepat
tindakan koreksi harus
dilakukan (Tabel 2.).
Tabel
2. Tindakan Koreksi
yang harus dilakukan jika ditemukan penyimpangan dari
batas
pada
CCP-nya.
Tingkat
Resiko
|
Tindakan Koreksi
|
A. Produk Beresiko
Tinggi
|
Ø
Produk
tidak
boleh
diproses/diproduksi
sebelum semua
penyimpanan dikoreksi/diperbaiki.
Ø
Produk
ditahan/tidak
dipasarkan, dan
diuji
keamanannya.
Ø
Jika keamanan produk tidak memenuhi persyaratan,
perlu dilakukan tindakan koreksi/perbaikan yng tepat.
|
B. Produk Beresiko
Sedang
|
¨ Produk
dapat diproses, tetapi penyimpangan harus
diperbaiki dalam waktu singkat (dalam beberapa hari/minggu).
¨ Diperlukan
pemantauan
khusus
sampai semua
penyimpangan dikoreksi /diperbaiki.
|
C. Produk Beresiko
Rendah
|
ü Produk
dapat diproses
ü Penyimpangan harus
dikoreksi/diperbaiki jika waktu
memungkinkan
ü Harus
dilakukan pengawasan rutin untuk
menjamin bahwa status resiko rendah tidak berubah menjadi
resiko sedang
atau tinggi.
|
Tindakan
koreksi di sini
harus
dapat mengurangi
atau
mengeliminasi potensi bahaya dan resiko yang terjadi, ketika batas kritis terlampaui pada CCP-nya
sehingga dapat menjamin bahwa disposisi produk yang tidak memenuhi, tidak
mengakibatkan potensi bahaya baru.
Setiap tindakan koreksi dilaksanakan, harus
didokumentasikan dengan tujuan untuk modifikasi suatu proses atau pengembangan
lainnya.
Prinisp VI.
Membuat Prosedur Pencatatan dan Penyimpanan Data yang Efektif dalam
Sistem Dokumentasi HACCP.
Sistem doumentasi
dalam sistem HACCP bertujuan
untuk : (1)
Mengarsipkan rancangan program HACCP dengan cara menyusun catatan yang teliti dan rapih mengenai seluruh sistem dan penerapan HACCP ; (2)
Memudahkan pemeriksaan oleh manager atau instansi
berwenang jika
produk yang dihasilkan
diketahui atau diduga sebagai
penyebab kasus
keracunan makanan.
Berbagai keterangan yang harus dicatat untuk dokumentasi sistem dan penerapan
HACCP mencakup :
² Judul dan tanggal pencatatan
² Keterangan produk (kode, tanggal dan waktu produksi)
² Karakteristik produk
(penggolongan resiko
bahaya)
² Bahan
serta peralatan yang
digunakan,
termasuk
: bahan mentah, bahan
tambahan, bahan
pengemas
dan peralatan
penting lainnya.
² Tahap/bagan alir proses, termasuk
: penanganan dan penyimpanan bahan, pengolahan,
pengemasan, penyimpanan
produk dan distribusinya.
² Jenis
bahaya pada setiap tahap
² CCP dan batas
kritis yang telah
ditetapkan
² Penyimpangan dari batas kritis
² Tindakan koreksi/perbaikan yang harus dilakukan jika terjadi penyimpangan, dan karyawan/petugas yang bertanggung jawab untuk melakukan koreksi/ perbaikan.
Dalam melakukan
pencatatan,
beberapa
hal yang dianjurkan
adalah
catatan harus sistematis, rapih dan teratur. Disamping
itu,
bila pencatatan dan pendokumentasian dilakukan tepat
dan sesuai dengan sistem
HACCP, maka berarti
keefektifan
sistem dokumentasi HACCP dapat
diuji atau dibuktikan.
Prinisp VII. Membuat Prosedur untuk
Memverifikasi bahwa
Sistem
HACCP Bekerja dengan Benar.
Prosedur verifikasi dibuat dengan tujuan : (1) Untuk memeriksa apakah
program HACCP telah dilaksanakan
sesuai dengan rancangan
HACCP yang
ditetapkan dan
(2)
Untuk
menjamin
bahwa
rancangan HACCP yang
ditetapkan masih efektif dan benar. Hasil verifikasi ini dapat pula
digunakan sebagai informasi tambahan dalam
memberikan jaminan bahwa program HACCP telah terlaksana dengan baik.
Verifikasi
mencakup berbagai kegiatan evaluasi terhadap
rancangan
dan penerapan
HACCP, yaitu :
v Penetapan
jadwal
verifikasi yang tepat
v Pemeriksaan
kembali (review) rancangan
HACCP
v Pemeriksaan
atau penyesuaian catatan
CCP
dengan kondisi proses sebenarnya
v Pemeriksaan penyimpangan terhadap CCP dan prosedur koreksi/perbaikan yang harus
dilakukan.
v Pengampilan contoh dan analisis (fisik, kimia dan/atau mikrobiologis) secara acak
pada tahap-tahap yang dianggap kritis.
v Catatan tertulis mengenai : kesesuaian dengan rancangan HACCP, penyimpangan terhadap rancangan HACCP, pemeriksaan
kembali diagram
alir dan CCP.
v Pemeriksaan
kembali modifikasi
rancangan
HACCP (CORLETT, 1991).
Sementara itu, jadwal kegiatan verifikasi dapat
dilakukan pada saat-saat
tertentu, yaitu
:
Þ Secara rutin atau tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP yang ditetapkan
masih dapat dikendalikan.
Þ Jika diketahui bahwa
produk tertentu
memerlukan perhatian khusus karena informasi
terbaru tentang
keamanan pangan.
Þ Jika produk yang dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab keracunan makanan.
Þ Jika kriteria yang ditetapkan dalam rancangan HACCP dirasakan belum mantap, atau
jika ada saran
dari
instansi yang berwenang.
E. POLA PENERAPAN DAN PENGEMBANGAN
SISTEM HACCP DALAM
INDUSTRI PANGAN
Pada dasarnya untuk merancang
dan
menerapkan sistem HACCP dalam
industri pangan perlu mempertimbangkan pengaruh berbagai hal terhadap keamanan pangan, misal : bahan mentah, ingredien
dan
bahan tambahan, praktek pengolahan makanan, peranan proses pengolahan dan pengendalian bahaya, cara mengkonsumsi produk, resiko masyarakat konsumen, dan keadaan epidemiologi yang
menyangkut keamanan pangan.
Kemudian untuk memperoleh program yang efektif dan menyeluruh dalam
penerapan/implementasi HACCP perlu
dilakukan kegiatan sebagai
berikut :
1. Komitmen Manajemen.
Keberhasilan penerapan / implementasi sistem HACCP sangatlah
tergantung pada manajemen sebagai penanggung
jawab tertinggi. Mereka harus
menyatakan komitmen tidak hanya dalam kata-kata saja melainkan juga dalam tindakan. Seluruh
karyawan dan staf nantinya harus tahu bahwa manajemen adalah yang paling
bertanggung
jawab memikul beban tugas implementasi ini.
Dengan demikian segala sumber daya yang diperlukan untuk mendukung
implementasi HACCP harus disediakan baik manusia maupun peralatan, sarana,
dokumentasi, informasi, metode, lingkungan,
bahan
baku dan waktu.
2. Pembentukan Tim HACCP.
Setelah Pimpinan Puncak mempunyai komitmen manajemen terhadap
program keamanan pangan, maka
mereka membentuk
tim HACCP
yang bertugas dan bertanggung
jawab dalam hal perencanaan, penerapan dan
pengembangan
sistem HACCP.
Anggota tim
implementasi HACCP sebaiknya terdiri
dari berbagai bidang disiplin ilmu (multidisiplin) yang mempunyai pengetahuan dan keahlian spesifik yang
tepat untuk produk. Dalam hal ini anggotanya tidak perlu dibatasi dan dapat berasal dari
bagian : produksi, pengendalian mutu atau QC,
jaminan mutu (QA), manufakturing, keteknikan (engineering), R & D serta sanitasi.
Mereka
merupakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang pekerjaannya masing-masing sehingga informasi teknis
dan
masukan (input) dari mereka
bermanfaat untuk mengembangkan sistem
HACCP secara efektif dan
benar.
3. Pelatihan Tim HACCP.
Individu personil yang
terpilih dalam tim HACCP kemudian
diberi pelatihan (training)
mengenai prinsip-prinsip HACCP dan cara implementasinya (misalnya tentang hazard dan analisisnya, peran titik kendali kritis
dan batas kritis dalam menjaga keamanan pangan, prosedur monitoring
dan
tindakan koreksi yang
harus dilakukan seandainya ada penyimpangan
CCP, prosedur dokumentasi HACCP
dan
lain-lain). Pelatihan
dan pendidikan ini bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan (knowledge)
dan mengembangkan
keahlian (skill) personil yang
bersangkutan guna memperlancar pelaksanaan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
Pelatihan dapat dilakukan oleh tenaga ahli berasal dari
dalam perusahaan sendiri atau tenaga
ahli dari luar
perusahaan atau konsultan
manajemen HACCP yang dapat memberi bantuan dalam implementasi HACCP
tersebut.
4. Diskripsi Produk.
Tim HACCP yang telah dibentuk dan disusun selanjutnya harus
mendiskripsikan/menggambarkan secara
menyeluruh terhadap produk pangan yang
akan dibuat/diproduksi. Dalam hal ini keterangan atau karakteristik yang lengkap mengenai
produk harus dibuat,
termasuk keterangan
mengenai
komposisi (ingredien), formulasi,
daya awet
dan cara distribusinya.
Semua
informasi tersebut diperlukan oleh tim HACCP untuk melakukan evaluasi secara
luas dan komprehensif.
5. Identifikasi
Penggunaan/Konsumennya.
Kemudian tim HACCP harus
mengidentifikasi tujuan penggunaan produk. Tujuan penggunaan produk harus didasarkan pada konsumen atau pengguna
akhir dari produk tersebut. Pada kasus, harus dipertimbangkan
kelompok populasi/masyarakat
beresiko tinggi.
6. Penyusunan Bagan/Diagram Alir Proses.
Bagan/diagram alir proses harus disusun
oleh tim HACCP. Setiap tahap
dalam proses tertentu harus dianalisis untuk menyusun bagan alirnya. Dalam menerapkan HACCP untuk suatu proses, pertimbangan
harus diberikan terhadap tahap
sebelum dan
sesudah proses tersebut.
Tujuan dibuatnya alir proses adalah
untuk menggambarkan tahapan proses produksi secara dalam industri
pangan yang bersangkutan serta untuk melihat tahapan proses produksi
tersebut
menjadi mudah
dikenali. Bagan/diagram alir
proses ini selain bermanfaat membantu tin HACCP
dalam melaksanakan tugasnya, dapat pula berfungsi sebagai ”Pedoman” berikutnya bagi orang
(personil) atau lembaga lainnya (pemerintah dan pelanggan) yang ingin mengetahui tahap proses produksi pangan yang
dibuatnya sehubungan
dengan kegiatan verifikasinya.
7. Menguji dan Memeriksa Kembali Diagram Alir Proses.
Tim HACCP
harus menguji dan memeriksa
kembali diagram alir
proses yang sudah dibuat.
Dalam hal ini, tim HACCP harus menyesuaikan kegiatan
proses pengolahan yang sebenarnya (di pabrik)
dengan bagan alir
proses pada
setiap tahap dan waktu proses, dan jika
perlu mengubah diagram alir
proses bila ditemukan hal-hal yang tidak sesuai atau kurang sempurna. Dengan demikian, bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak tepat dan kurang sempurna, dapat dilakukan
modifikasi.
8. Menerapkan Tujuh Prinsip HACCP.
Tujuh
prinsip penting HACCP yang harus
diterapkan adalah :
² Penerapan
prinsip 1. Membuat daftar bahaya yang mungkin timbul dan cara pencegahan
untuk mengendalikan bahaya.
² Penerapan prinsip
2. Menetapkan titik kendali kritis (CCP = Critical Control
Point).
² Penerapan
prinsip 3. Menetapan batas/limit kritis untuk setiap titik kendali kritis (CCP).
² Penerapan prinsip
4. Menetapkan sistem/prosedur pemantauan untuk setiap
CCP.
² Penerapan prinsip
5. Menetapkan tindakan koreksi terhadap penyimpangan.
² Penerapan
prinsip 6. Menetapkan
prosedur
verifikasi
untuk
membuktikan
bahwa sistem HACCP berjalan
dengan
baik dan
benar.
² Penerapan
prinsip 7. Membuat catatan dan dokumentasi. Catatan data yang praktis dan teliti merupakan hal
yang penting
dalam penerapan sistem HACCP.
Keberhasilan dalam penerapan HACCP membutuhkan tanggung jawab
penuh dan keterlibatan manajemen serta
tenaga kerja. Keberhasilan penerapan HACCP juga membutuhkan kerjasama
tim yang
baik.
K E S I
M P
U L A N
Sistem jaminan mutu dan keamanan pangan pola HACCP sekarang
mulai
diakui dan diterapkan di seluruh dunia termasuk Uni Eropa, bahkan telah diadopsi Codex Almentarius Commision sebagai acuan
dalam pengembangan
sistem
jaminan mutu dan keamanan pangan
industri pangan.
HACCP ini pun dapat
diterapkan pada
seluruh rantai
produk makanan, mulai dari produksi primer
sampai ke konsumen akhir. Selain meningkatkan jaminan
keamanan pangan
(food safety assurance),
keuntungan
lain
dari HACCP adalah penggunaan
sumber daya secara lebih baik dan
pemecahan masalah dapat lebih
cepat. Penerapan HACCP juga sesuai dengan implementasi sistem manajemen mutu, misalnya seri ISO-9000, dan merupakan sistem terpilih dalam manajemen keamanan pangan.
DAFTAR PUSTAKA
- Implementasi GMP dan HACCP dalam Menunjang
Quality Assurance Industri Pangan (A.
Tjahjanto
Prasetyono)
-
Crocker, O. L. and Leung Chiu, J. S., 1984, Quality Circles, A Guide to Participation and
Productivity, Methuen, Toronto.
-
Hicks, Philips E., 1994, Industrial Engineering and Management, A New Perspective, 2nd
ed., McGraw-Hill Book Co., Singapore.
-
Stebbing, Lionel, 1993, Quality Assurance, The Route to Efficiency and Competitiveness, 3rd
ed., Ellis
Horwood, London.
- Taguchi, G., Elsayed, E. A and Hsiang, T. C., Quality Engineering in Production Systems,
McGraw Hill Book Co.,
Singapore.
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar